Dipagi hari, kami disuguhi sarapan roti kompyang, penampakannya seperti roti simit ala turki, roti tanpa isi yg atasnya ditaburi wijen. Saat pagi hari kami mencicipi, rasanya biasa saja. Tak kala sore hari, terasa enak sekali. Ternyata oh ternyata, roti kompyang yang dibeli di toko sebaiknya digoreng, jadi dari segi rasa dan tekstur mirip donat tapi terasa lebih enak karena terbalut wijen.
Tak lengkap rasanya mencicipi roti kompyang tidak ditemani secangkir kopi hitam. Kopi khas yang berasal dari ruteng, ibu kota kabupaten Manggarai timur. Kopi pahit ini rasanya enak, tak meninggalkan rasa asam dimulut dan nyaman diperut.
Beberapa pemuda memilih makan malam biawak yg mereka temukan diantara rumpun bambu, katanya sih hanya dibakar saja, entahlah saya sudah seram melihatnya saja. Pak awi sempat memegang dan berfoto, saya sih jauh-jauh saja.
Untuk makan malam saya sih lebih baik memilih ikan bakar warna warni yang bisa pilih sesuka hati.
Saya memilih ikan baronang merah yg hanya dibumbui sederhana, rasanya pedas asin gurih plus lalaban yang ditaburi bumbu kelapa seperti urap tanpa kencur.
Kuliner di flores menjadi terbatas karena masalah kehalalan dan ragam khasnya sangat terbatas sekali. Padahal Hasil buminya banyak dan luar biasa enaknya, hanya sepertinya masyarakat asli kurang ide dan kreatif. Seperti alpukat dan jeruknya, luar biasa enaknya. Alpukat jarang disukai sehingga hanya dijadikan makanan babi saja. Kami ditertawakan, karena begitu menikmati rasa si alpukat yang besarnya seperti kepala anak balita. Rasanya enak sekali, seandainya bisa dikirim dijawa, bisa dijadikan es teler, cake, es krim dan lain sebagainya. Sayangnya belum ada yang berpikiran mengirimnya ke jawa. Beberapa pohon enau penghasil kolang kaling yg lebat dibiarkan saja, mereka hanya mengambil airnya saja untuk tuak, sedangkan kolang kalingnya dibiarkan begitu saja, duuuh sayangnya.... bahkan mereka tidak tahu kalau jengkol bisa dimakan hehe....